Ana, lengkapnya Mariana. Seorang Kristen tulen yang sudah pergi
ke sekolah minggu bahkan jauh sebelum ia masuk ke sekolah dasar. Selalu taat
bergereja tiap hari Minggu dan sudah aktif di paduan suara kemudian bertahap
naik tingkat sampai akhirnya menjadi pengurus organisasi gereja.
Ale, lengkapnya Shaleh. Seorang Muslim tulen. Dengan taat
sudah diajari mengaji oleh kedua orang tuanya. Selalu taat sholat lima waktu.
Bahkan pendidikan menengah pertama memilih untuk menjadi anak pondok dan
pendidikan menengah atas memilih masuk ke SMA Swasta muslim berbasis asrama.
Lucu sekali. Latar belakang agama mereka tidak terbantahkan
kuatnya. Tapi apakah kekuatan itu mampu menahan pertemuan mereka sore itu?
Mereka saling berpandangan di ruang yang penuh berisi
deretan meja dan kursi, serta beberapa lembar kertas yang helainya dipermainkan
oleh angin yang menyapa. Agaknya hening; semua peserta rapat sudah pulang. Pandangan
mereka berpaut dalam diam; mereka tahu sama tahu apa yang ada di benak
masing-masing; ada yang salah. Iya. Ada yang salah dari hubungan mereka berdua.
Bola mata mereka berkilat gelisah, ingin mengutarakan isi hati namun apa daya
akal sehat menghalangi. Karena mereka tahu ini salah.
Salah saat mereka memulai basis persahabatan mereka dari
awal. Mereka terlalu percaya satu sama lain. Terlanjur dekat. Terlanjur saling
memperhatikan satu sama lain hanya dalam komunikasi lewat pandangan mata. Dimulai
sejak detik Ale dan Ana yang sama-sama tersesat saling membantu menemukan
tempat Stadium Generale fakultas mereka di hari pertama masa OSPEK universitas
mereka; mereka terlanjur saling mengandalkan satu sama lain.
Mau menyalahkan siapa?
Menyalahkan jarak; yang membuat mereka sama-sama menjadi
pelajar perantauan di kota itu?
Menyalahkan waktu; yang membuat mereka tiba di gerbang
kampus di waktu yang tepat sama?
Menyalahkan keadaan; yang membuat mereka menjadi
satu-satunya mahasiswa sefakultas yang belum masuk, dan nyaris terlambat masuk,
ke ruangan Stadium Generale?
Atau—menyalahkan hati; yang dengan sembrono membuat dirinya
nyaman satu sama lain, di detik-detik dimana mereka saling membantu selama
OSPEK berlangsung?
Ana tahu ini salah. Ale tahu ini salah. Pada dasarnya mereka
berbeda, dan hubungan lebih dari persahabatan adalah suatu hal yang melanggar
prinsip mereka masing-masing. Prinsip yang sudah mereka, secara langsung atau
tidak langsung, pamerkan kepada dunia. Masakan harus melanggar prinsip sendiri?
Masa mereka lega ketika mengetahui bahwa jurusan mereka
tidak sering mengadakan aktifitas bersama pun lenyap begitu mereka sama-sama
tahu bahwa keduanya terpilih sebagai pengurus suatu organisasi kampus. Masih
bisa teringat wajah keduanya yang terkejut ketika saling mengenali nama dan
wajah masing-masing. Terbesit dua rasa itu; percikan kegembiraan dan perasaan
penanda kemalangan akan datang. Wah, kali ini siapa lagi yang mau disalahkan?
Nasib; yang tampaknya tak kehabisan kelakar untuk mempertemukan kedua muda-mudi
ini?
Mereka berusaha bersikap professional tentu saja. Tidak
apa-apa. Bekerja pada divisi yang sama bukanlah sebuah pertanda bahwa mereka
akan semakin dekat, ‘kan? Mereka hanya saling membantu menyelesaikan tugas, kok; sembari ditemani ajang saling ledek
dan terkadang makan siang bersama. Itupun kalau terpaksa, kalau sudah dikejar
tenggat waktu. Tidak ada yang salah, ‘kan? Apalagi seperti saat Ana sakit waktu
itu, tidak mungkin Ale berdiam diri dirumah tanpa membantu ikut merawat;
setidaknya dengan membawa beberapa makanan hangat dan menelpon menanyakan
kabar. Seperti juga saat ban motor Ale bocor di tengah jalan seperti beberapa
bulan lalu. Tidak mungkin ‘kan Ana tidak membantu menemaninya mencari tukang
tambal ban terdekat dan menunggui sampai ban motornya normal lagi?
Eh? Tidak ada yang
salah, ‘kan?
Iya, tidak ada yang
salah.
Itu sugesti mereka
pada diri sendiri selama satu tahun ini. Mereka hanya berteman. Tidak ada yang
salah saat teman saling memperhatikan satu sama lain, ‘kan? Bukankah berteman
adalah salah satu bentuk perwujudan kasih sayang yang sama-sama diajarkan dalam
keyakinan mereka?
...Tapi jikalau kasih sayang itu begitu meluap di hati
pikiran masing-masing, apakah sebutan ‘teman’ masih boleh disandang?
“Lho, iya, Ana itu pacarnya Ale, ‘kan?”
Untuk sepersekian detik Ana bingung. Maksud hati ingin
menyanggah langsung pertanyaan sekaligus pernyataan kawannya tersebut, namun
ego merasa sayang; gelar itu tidak terlalu buruk di telinganya. Sedangkan Ale
yang duduk di sebelahnya juga bingung ingin menjawab. Persis sama; maksud hati
ingin menyela, namun ego berdoa semoga Ana mengiyakan. Aduh!
Pada akhirnya tidak ada jawaban. Sang penanyapun disela oleh
kawan lain yang ikut duduk nimbrung di meja itu sembari menanyakan timeline acara event yang akan digelar oleh organisasi kampus mereka. Dengan lega,
Ana dan Ale menjadi dua orang yang paling keras menjawab di meja kantin yang
paling tidak diisi oleh enam orang mahasiswa dan mahasiswi. Dalam hati mereka
berdoa, semoga orang-orang melupakan pembicaraan barusan.
Tapi nampaknya mereka salah.
Memang obrolan itu tenggelam diantara kesibukan kegiatan
kemahasiswaan; namun sama sekali tidak hilang dari benak mereka. Dilema. Mereka
tidak tahu jika kedua kalinya ditanya demikian, mereka harus menjawab apa.
Maka disinilah mereka. Saling tatap. Nyaman, namun gelisah.
Dari panitia organisasi di tahun ke dua hingga panitia wisuda. Pada akhirnya
mereka yang aktif ini selalu tersandung di organisasi yang sama dan terjebak
dengan pemikiran retoris mereka lagi mengenai ‘ketidakapaan’ hubungan mereka.
Lepas besok siang, mereka yang sudah akan menyandang gelar sarjana ini mungkin
tidak akan bertemu lagi. Ana pulang kembali ke Manado lusa siang, sedang Ale
akan kembali pulang ke Padang lusa malam. Barang sudah siap dikemas dalam
kardus, namun pikiran dan hati mereka masih berantakan entah terpencar kemana.
“Cepat ya,” Ana memecah hening pada ruangan itu. Cukup luar
biasa bagaimana semua orang langsung pergi begitu salam diucapkan; ingin
langsung menghabiskan waktu dengan keluarga yang sudah datang untuk wisuda
besok, katanya.
“Apanya?” Ale merespon, masih berpura-pura merapikan
barangnya yang sesungguhnya sudah rapi sedari tadi; ia hanya terus-terusan
mengeluarkan laptopnya lalu menyusun struktur tasnya lagi.
“Kita,” Ale membeku sesaat, tidak menyangka Ana akan
menyebutkan kata ‘kita’ diantara mereka. “—Kepanitiaan kita maksudnya. Event
ini,”
Ale terkekeh lega namun kecewa. Lega karena ia tidak harus
menghadapi drama perpisahan yang selalu ia sangsikan, namun ia benci karena ia
sendiri kecewa, sesungguhnya ia tidak sangsi dengan predikat ‘kita’.
“Iya, dari maba
sampai sekarang ya, selalu di kepanitiaan yang sama, selalu di divisi yang
sama.”
Tentu saja karena aku
dengan sengaja mencari tau minat dan divisimu. Tapi kamu tidak boleh tahu.—Jerit
satu sama lain dalam hati.
“Iya, haha. Udah beres persiapan balik ke Padang?” Ana
basa-basi.
“Iya, udah.” Ale tersenyum tipis, “Kamu udah? Tante Mira
yang dateng ya wisuda besok?” Iya, mereka
sudah sampai tahapan saling mengenal keluarga satu sama lain.
“Iya, Mama yang dateng, sama Abang aku juga. Nanti balik
Manado aku langsung ziarah ke makam Papa.” Ana tersenyum pahit. Sesungguhnya
tahun ke-duanya tidak begitu menyenangkan karena Papa Ana harus pergi terlebih
dahulu akibat kanker yang memang sudah beberapa tahun beliau idap. Adalah Ale
yang sungguh-sungguh menenangkannya kala itu, yang juga pada akhirnya menjadi
sandaran bagi Ana pada masa-masa ratap dan sedihnya.
“Begitu. Oh iya, Umi sama Abi tadi titip salam buat kamu.
Habis ini aku kayaknya akan ajak mereka makan malam di Sektor C.” Ana
menjawabnya dengan senyum yang menandakan rasa terima kasihnya atas salam yang
diberikan.
“Oh, oke. Udah jam 5 nih, buruan dong berarti. Mau pinjem
mobil aku aja apa?” Ana melihat jam, mempercepat beberes barang yang sedari
tadi ia perlama.
“Nope, makasih.
Aku udah sewa mobil kok. Aman.” Ale nyengir. Ana balas tersenyum. Oh sungguh
mereka menyukai kala mereka saling melempar senyum hangat seperti sekarang ini.
Kemudian hening terjadi lagi. Mereka sudah sama-sama
menghadap pintu. Lima langkah menuju keluar, bahu tepat berseberangan satu sama
lain, kaki masih terangkat satu ke atas. Mereka merasa mereka tidak bisa
berpisah seperti ini, tapi kalau lebih dari ini mereka juga tidak ingin ada
predikat lain menempel pada kata ‘teman’ yang sudah susah payah mereka bangun
dan batasi.
“Na—““Kamu baik-baik, ya,””—“Le.” Mereka mengucap bersamaan
dengan tidak menatap satu sama lain. Akan berat rasanya untuk berpisah sembari
menatap kedua mata sendu itu, atau mata Ana yang berkilauan menahan tangis.
“Makasih ya, Le. Buat semuanya,” Suara Ana bergetar. Ale
tidak tega untuk pada akhirnya menoleh juga ke arahnya, untuk mendapati sosok
Ana yang menunduk dengan satu bilur air mata sudah jatuh ke lantai keramik.
Pahit, Ale tersenyum sembari menghela nafas “Makasih ya, Na,
buat ‘kita’ selama ini.” Ana tertegun, menangkap pandangan bola mata cokelat
Ale dengan cepat. Ale mengucap kata ‘kita’ kala mereka akhirnya harus berpisah
menghadapi hidup sendiri-sendiri dalam hitungan hari. Senang dan sedih, memang ternyata
hubungan yang penuh dengan ketidakjelasan pun pada akhirnya akan diakhiri
dengan ketidakjelasan pula.
“Sampai jumpa lagi, Ana.” Ale menutup pembicaraan. Ana
mengangguk. Satu tetes air mata lagi mengalir ketika ia menundukkan kepalanya,
mengiyakan.
“Sampai jumpa lagi, Ale.” Dialog terakhir mereka pun
terjadi. Pada detik berikutnya mereka tahu mereka harus keluar dari ruangan
yang terlalu penuh dengan memori kebersamaan mereka. Ruang Stadium Generale,
ruang rapat pertama mereka bertemu—ruang tempat mereka akhirnya memahami
perasaan satu sama lain.
Dan kala mereka menanggalkan gelar mahasiswa mereka esoknya,
kala keringat yang hadir karena banyaknya peserta wisuda memenuhi ruangan
bercampur dengan aroma wangi bunga ucapan selamat dari rekan dekat, pada saat
itu jugalah mereka berusaha menjadi kuat. Berusaha menutup kantong mata sisa
menangis semalam, atau mata merah sisa kurang tidur semalam. Mereka berusaha
memaknai perpisahan yang membuat perjumpaan mereka makin berarti lagi ini.
Dan kala banyak kawanan bergerombol menyoraki mereka supaya ‘langgeng’—mereka
yang tangannya sama-sama penuh membawa bunga dari gladiol hingga matahari, juga
selempang cumlaude dan magna-cumlaude yang mereka berhasil bawa
untuk oleh-oleh pulang ke kampung halamannya itu—mereka berhasil tersenyum
riang di depan kamera yang menangkap satu-satunya foto mereka yang hanya berdua—justru
di detik mereka akan berpisah. Dibalik senyum itu mereka sama-sama mendoakan
satu sama lain;
‘Sama seperti Tuhan mengasihiku,
pun aku mengasihi kamu. Semoga kamu bahagia pada tahapan hidupmu selanjutnya.’