Pages

Friday, September 28, 2018

Ana dan Ale

Lucu bagaimana membayangkan hal ini bisa terjadi.

Ana, lengkapnya Mariana. Seorang Kristen tulen yang sudah pergi ke sekolah minggu bahkan jauh sebelum ia masuk ke sekolah dasar. Selalu taat bergereja tiap hari Minggu dan sudah aktif di paduan suara kemudian bertahap naik tingkat sampai akhirnya menjadi pengurus organisasi gereja.

Ale, lengkapnya Shaleh. Seorang Muslim tulen. Dengan taat sudah diajari mengaji oleh kedua orang tuanya. Selalu taat sholat lima waktu. Bahkan pendidikan menengah pertama memilih untuk menjadi anak pondok dan pendidikan menengah atas memilih masuk ke SMA Swasta muslim berbasis asrama.

Lucu sekali. Latar belakang agama mereka tidak terbantahkan kuatnya. Tapi apakah kekuatan itu mampu menahan pertemuan mereka sore itu?

Mereka saling berpandangan di ruang yang penuh berisi deretan meja dan kursi, serta beberapa lembar kertas yang helainya dipermainkan oleh angin yang menyapa. Agaknya hening; semua peserta rapat sudah pulang. Pandangan mereka berpaut dalam diam; mereka tahu sama tahu apa yang ada di benak masing-masing; ada yang salah. Iya. Ada yang salah dari hubungan mereka berdua. Bola mata mereka berkilat gelisah, ingin mengutarakan isi hati namun apa daya akal sehat menghalangi. Karena mereka tahu ini salah.

Salah saat mereka memulai basis persahabatan mereka dari awal. Mereka terlalu percaya satu sama lain. Terlanjur dekat. Terlanjur saling memperhatikan satu sama lain hanya dalam komunikasi lewat pandangan mata. Dimulai sejak detik Ale dan Ana yang sama-sama tersesat saling membantu menemukan tempat Stadium Generale fakultas mereka di hari pertama masa OSPEK universitas mereka; mereka terlanjur saling mengandalkan satu sama lain.

Mau menyalahkan siapa?

Menyalahkan jarak; yang membuat mereka sama-sama menjadi pelajar perantauan di kota itu?

Menyalahkan waktu; yang membuat mereka tiba di gerbang kampus di waktu yang tepat sama?

Menyalahkan keadaan; yang membuat mereka menjadi satu-satunya mahasiswa sefakultas yang belum masuk, dan nyaris terlambat masuk, ke ruangan Stadium Generale?

Atau—menyalahkan hati; yang dengan sembrono membuat dirinya nyaman satu sama lain, di detik-detik dimana mereka saling membantu selama OSPEK berlangsung?

Ana tahu ini salah. Ale tahu ini salah. Pada dasarnya mereka berbeda, dan hubungan lebih dari persahabatan adalah suatu hal yang melanggar prinsip mereka masing-masing. Prinsip yang sudah mereka, secara langsung atau tidak langsung, pamerkan kepada dunia. Masakan harus melanggar prinsip sendiri?

Masa mereka lega ketika mengetahui bahwa jurusan mereka tidak sering mengadakan aktifitas bersama pun lenyap begitu mereka sama-sama tahu bahwa keduanya terpilih sebagai pengurus suatu organisasi kampus. Masih bisa teringat wajah keduanya yang terkejut ketika saling mengenali nama dan wajah masing-masing. Terbesit dua rasa itu; percikan kegembiraan dan perasaan penanda kemalangan akan datang. Wah, kali ini siapa lagi yang mau disalahkan? Nasib; yang tampaknya tak kehabisan kelakar untuk mempertemukan kedua muda-mudi ini?

Mereka berusaha bersikap professional tentu saja. Tidak apa-apa. Bekerja pada divisi yang sama bukanlah sebuah pertanda bahwa mereka akan semakin dekat, ‘kan? Mereka hanya saling membantu menyelesaikan tugas, kok; sembari ditemani ajang saling ledek dan terkadang makan siang bersama. Itupun kalau terpaksa, kalau sudah dikejar tenggat waktu. Tidak ada yang salah, ‘kan? Apalagi seperti saat Ana sakit waktu itu, tidak mungkin Ale berdiam diri dirumah tanpa membantu ikut merawat; setidaknya dengan membawa beberapa makanan hangat dan menelpon menanyakan kabar. Seperti juga saat ban motor Ale bocor di tengah jalan seperti beberapa bulan lalu. Tidak mungkin ‘kan Ana tidak membantu menemaninya mencari tukang tambal ban terdekat dan menunggui sampai ban motornya normal lagi?

Eh? Tidak ada yang salah, ‘kan?

Iya, tidak ada yang salah.

 Itu sugesti mereka pada diri sendiri selama satu tahun ini. Mereka hanya berteman. Tidak ada yang salah saat teman saling memperhatikan satu sama lain, ‘kan? Bukankah berteman adalah salah satu bentuk perwujudan kasih sayang yang sama-sama diajarkan dalam keyakinan mereka?

...Tapi jikalau kasih sayang itu begitu meluap di hati pikiran masing-masing, apakah sebutan ‘teman’ masih boleh disandang?

“Lho, iya, Ana itu pacarnya Ale, ‘kan?”

Untuk sepersekian detik Ana bingung. Maksud hati ingin menyanggah langsung pertanyaan sekaligus pernyataan kawannya tersebut, namun ego merasa sayang; gelar itu tidak terlalu buruk di telinganya. Sedangkan Ale yang duduk di sebelahnya juga bingung ingin menjawab. Persis sama; maksud hati ingin menyela, namun ego berdoa semoga Ana mengiyakan. Aduh!

Pada akhirnya tidak ada jawaban. Sang penanyapun disela oleh kawan lain yang ikut duduk nimbrung di meja itu sembari menanyakan timeline acara event yang akan digelar oleh organisasi kampus mereka. Dengan lega, Ana dan Ale menjadi dua orang yang paling keras menjawab di meja kantin yang paling tidak diisi oleh enam orang mahasiswa dan mahasiswi. Dalam hati mereka berdoa, semoga orang-orang melupakan pembicaraan barusan.

Tapi nampaknya mereka salah.

Memang obrolan itu tenggelam diantara kesibukan kegiatan kemahasiswaan; namun sama sekali tidak hilang dari benak mereka. Dilema. Mereka tidak tahu jika kedua kalinya ditanya demikian, mereka harus menjawab apa.

Maka disinilah mereka. Saling tatap. Nyaman, namun gelisah. Dari panitia organisasi di tahun ke dua hingga panitia wisuda. Pada akhirnya mereka yang aktif ini selalu tersandung di organisasi yang sama dan terjebak dengan pemikiran retoris mereka lagi mengenai ‘ketidakapaan’ hubungan mereka. Lepas besok siang, mereka yang sudah akan menyandang gelar sarjana ini mungkin tidak akan bertemu lagi. Ana pulang kembali ke Manado lusa siang, sedang Ale akan kembali pulang ke Padang lusa malam. Barang sudah siap dikemas dalam kardus, namun pikiran dan hati mereka masih berantakan entah terpencar kemana.

“Cepat ya,” Ana memecah hening pada ruangan itu. Cukup luar biasa bagaimana semua orang langsung pergi begitu salam diucapkan; ingin langsung menghabiskan waktu dengan keluarga yang sudah datang untuk wisuda besok, katanya.

“Apanya?” Ale merespon, masih berpura-pura merapikan barangnya yang sesungguhnya sudah rapi sedari tadi; ia hanya terus-terusan mengeluarkan laptopnya lalu menyusun struktur tasnya lagi.

“Kita,” Ale membeku sesaat, tidak menyangka Ana akan menyebutkan kata ‘kita’ diantara mereka. “—Kepanitiaan kita maksudnya. Event ini,”

Ale terkekeh lega namun kecewa. Lega karena ia tidak harus menghadapi drama perpisahan yang selalu ia sangsikan, namun ia benci karena ia sendiri kecewa, sesungguhnya ia tidak sangsi dengan predikat ‘kita’.

“Iya, dari maba sampai sekarang ya, selalu di kepanitiaan yang sama, selalu di divisi yang sama.”

Tentu saja karena aku dengan sengaja mencari tau minat dan divisimu. Tapi kamu tidak boleh tahu.—Jerit satu sama lain dalam hati.

“Iya, haha. Udah beres persiapan balik ke Padang?” Ana basa-basi.

“Iya, udah.” Ale tersenyum tipis, “Kamu udah? Tante Mira yang dateng ya wisuda besok?” Iya, mereka sudah sampai tahapan saling mengenal keluarga satu sama lain.

“Iya, Mama yang dateng, sama Abang aku juga. Nanti balik Manado aku langsung ziarah ke makam Papa.” Ana tersenyum pahit. Sesungguhnya tahun ke-duanya tidak begitu menyenangkan karena Papa Ana harus pergi terlebih dahulu akibat kanker yang memang sudah beberapa tahun beliau idap. Adalah Ale yang sungguh-sungguh menenangkannya kala itu, yang juga pada akhirnya menjadi sandaran bagi Ana pada masa-masa ratap dan sedihnya.

“Begitu. Oh iya, Umi sama Abi tadi titip salam buat kamu. Habis ini aku kayaknya akan ajak mereka makan malam di Sektor C.” Ana menjawabnya dengan senyum yang menandakan rasa terima kasihnya atas salam yang diberikan.

“Oh, oke. Udah jam 5 nih, buruan dong berarti. Mau pinjem mobil aku aja apa?” Ana melihat jam, mempercepat beberes barang yang sedari tadi ia perlama.

Nope, makasih. Aku udah sewa mobil kok. Aman.” Ale nyengir. Ana balas tersenyum. Oh sungguh mereka menyukai kala mereka saling melempar senyum hangat seperti sekarang ini.

Kemudian hening terjadi lagi. Mereka sudah sama-sama menghadap pintu. Lima langkah menuju keluar, bahu tepat berseberangan satu sama lain, kaki masih terangkat satu ke atas. Mereka merasa mereka tidak bisa berpisah seperti ini, tapi kalau lebih dari ini mereka juga tidak ingin ada predikat lain menempel pada kata ‘teman’ yang sudah susah payah mereka bangun dan batasi.

“Na—““Kamu baik-baik, ya,””—“Le.” Mereka mengucap bersamaan dengan tidak menatap satu sama lain. Akan berat rasanya untuk berpisah sembari menatap kedua mata sendu itu, atau mata Ana yang berkilauan menahan tangis.

“Makasih ya, Le. Buat semuanya,” Suara Ana bergetar. Ale tidak tega untuk pada akhirnya menoleh juga ke arahnya, untuk mendapati sosok Ana yang menunduk dengan satu bilur air mata sudah jatuh ke lantai keramik.

Pahit, Ale tersenyum sembari menghela nafas “Makasih ya, Na, buat ‘kita’ selama ini.” Ana tertegun, menangkap pandangan bola mata cokelat Ale dengan cepat. Ale mengucap kata ‘kita’ kala mereka akhirnya harus berpisah menghadapi hidup sendiri-sendiri dalam hitungan hari. Senang dan sedih, memang ternyata hubungan yang penuh dengan ketidakjelasan pun pada akhirnya akan diakhiri dengan ketidakjelasan pula.

“Sampai jumpa lagi, Ana.” Ale menutup pembicaraan. Ana mengangguk. Satu tetes air mata lagi mengalir ketika ia menundukkan kepalanya, mengiyakan.

“Sampai jumpa lagi, Ale.” Dialog terakhir mereka pun terjadi. Pada detik berikutnya mereka tahu mereka harus keluar dari ruangan yang terlalu penuh dengan memori kebersamaan mereka. Ruang Stadium Generale, ruang rapat pertama mereka bertemu—ruang tempat mereka akhirnya memahami perasaan satu sama lain.

Dan kala mereka menanggalkan gelar mahasiswa mereka esoknya, kala keringat yang hadir karena banyaknya peserta wisuda memenuhi ruangan bercampur dengan aroma wangi bunga ucapan selamat dari rekan dekat, pada saat itu jugalah mereka berusaha menjadi kuat. Berusaha menutup kantong mata sisa menangis semalam, atau mata merah sisa kurang tidur semalam. Mereka berusaha memaknai perpisahan yang membuat perjumpaan mereka makin berarti lagi ini.

Dan kala banyak kawanan bergerombol menyoraki mereka supaya ‘langgeng’—mereka yang tangannya sama-sama penuh membawa bunga dari gladiol hingga matahari, juga selempang cumlaude dan magna-cumlaude yang mereka berhasil bawa untuk oleh-oleh pulang ke kampung halamannya itu—mereka berhasil tersenyum riang di depan kamera yang menangkap satu-satunya foto mereka yang hanya berdua—justru di detik mereka akan berpisah. Dibalik senyum itu mereka sama-sama mendoakan satu sama lain;

‘Sama seperti Tuhan mengasihiku, pun aku mengasihi kamu. Semoga kamu bahagia pada tahapan hidupmu selanjutnya.’

  (disclaimer: I dot own this picture)

No comments:

Post a Comment

Leave your footsteps here.